Selamat Datang di Web Resmi SD LOWO Lumajang

"Pasir Emasku Bersinar Indah Kembali" | Juara 3 lomba menulis FLS3N Kecamatan Lumajang Tahun 2025

 
Kabupaten Lumajang, tanah subur di kaki Gunung Semeru, menyimpan keindahan yang tak ternilai. Salah satu permatanya adalah pesisir pantai di selatan, tepatnya di Desa Selok Awar-Awar, Pasirian. Pasir pantainya berkilau keemasan, membuat siapa saja terpukau. Namun, kilau itu perlahan meredup.

Sejak ditemukannya pasir emas, banyak perusahaan tambang masuk, baik legal maupun ilegal. Jalan-jalan utama seperti Lumajang–Tempeh–Pasirian hancur karena dilewati truk-truk besar yang mengangkut pasir melebihi batas. Debu beterbangan, suara mesin menggema siang malam. Bumi yang dulu asyik, kini nyaris tak dikenali.

Libur semester kali ini, Aray, siswa kelas 5 SD yang cerdas dan pandai berorasi, mendapat tugas kelompok dari sekolah: mengamati dan membuat laporan tentang kondisi lingkungan sekitar. Bersama Melli si cerdas dan suka membantu, Reyza si ahli desain tapi pelupa, dan Amel si pendiam namun jago menulis, mereka membentuk tim yang solid.

“Kita ambil topik pantai pasir emas di Selok Awar-Awar. Aku yakin, ada banyak yang bisa kita pelajari di sana,” kata Aray penuh semangat.

“Kita bisa tinggal di rumah Paman aku, Pak Budiman,” sambung Reyza sambil menunjuk peta desa di tablet. “Dekat sekali dengan lokasi tambang.”

Petualangan pun dimulai. Begitu tiba di desa, keempat sahabat langsung terkesima. Bukan karena indahnya pantai, tetapi karena kerusakannya. Air laut berubah cokelat, pohon-pohon pesisir roboh, dan suara bising mesin tak pernah berhenti.

“Ini sangat menyedihkan,” ucap Amel lirih. Ia segera mencatat kondisi lingkungan, sambil sesekali memotret diam-diam.

Mereka dibantu Pak Budiman, seorang warga yang sangat peduli lingkungan. “Dulu tempat ini surga, Nak. Tapi lihat sekarang... semua demi tambang,” katanya dengan nada pilu.

Kelompok Aray mulai melakukan pengamatan serius. Mereka mewawancarai warga, mengambil dokumentasi, bahkan mencoba mendekat ke area tambang milik PT. Murka Mutiara—perusahaan yang paling merusak kawasan itu. Namun, saat sedang mengambil gambar dari kejauhan, seorang mandor berteriak marah.

“Pergi! Ini bukan tempat main anak-anak!” bentaknya sambil menggenggam linggis.

Ketakutan, mereka mundur. Tapi tanpa diketahui yang lain, Amel mencoba masuk dari sisi belakang untuk mengambil foto bukti aktivitas tambang liar.

Saat sore tiba, mereka baru sadar Amel tidak ada. “AMEL HILANG!” teriak Aray panik.

Berkat bantuan Pak Budiman, serta RT dan RW setempat, Amel akhirnya ditemukan malam itu di ruang kosong belakang bangunan tambang. Meski gemetar, ia masih menggenggam kameranya.


“Foto-fotonya... berhasil. Kita nggak boleh mundur!” bisik Amel sambil tersenyum tipis.

Peristiwa itu membuat semangat mereka membara. Mereka membagi tugas: Amel menulis laporan dan narasi kampanye, Melli menyusun strategi komunikasi ke warga, Aray membuat naskah orasi, dan Reyza mendesain poster-poster digital melalui Canva dan juga manual dengan cat poster.

Mereka mengajukan izin kepada RT, RW, hingga Kepala Desa untuk mengadakan kampanye bertajuk “Stop Penambangan Liar – Selamatkan Pasir Emas Kita!”. Poster hasil kreasi mereka dipasang di balai desa, pos ronda, hingga warung-warung. Warga mulai memperhatikan.

“Bumi itu asyik kalau kita jaga, bukan rusak karena tamak!” seru Aray dalam salah satu orasinya di depan balai desa.


Teman-teman satu kelas pun turut membantu. Pak Guru memberikan ruang kelas untuk tempat produksi poster, dan sekolah menyediakan dana kecil untuk keperluan mencetak dan membeli alat tulis. Dukungan terus berdatangan... sampai Bombom muncul.

Bombom, teman sekelas yang usil dan pemarah, merasa tersaingi. Ia tak suka melihat kelompok Aray jadi pusat perhatian.

“Ngapain repot-repot mikirin pasir? Lebih baik ikut ayahku kerja di tambang, dapat uang!” katanya sombong. Ayah Bombom memang salah satu mandor tambang.

Dengan sikap agresifnya, Bombom mempengaruhi beberapa teman sekelas. “Kalau kalian ikut Aray, kalian musuhku!” ancamnya.

Kelas pun terbelah dua. Tapi Aray, dengan jiwa kepemimpinannya, tak gentar.

“Kita tak sedang cari musuh, kita sedang selamatkan rumah kita. Kalau bumi rusak, kita semua yang rugi,” ujar Aray saat berdiskusi di kelas.

Pak Guru akhirnya turun tangan. Ia mengajak semua siswa berdiskusi terbuka. “Kalian tahu, pasir emas itu bukan sekadar uang. Ia bagian dari alam. Kalau kita biarkan terus rusak, kalian nanti hanya akan mewarisi reruntuhan.”

Diskusi itu membuka mata banyak murid. Perlahan, teman-teman yang terpengaruh Bombom mulai sadar dan kembali membantu. Bahkan Bombom, yang semula marah, mulai diam. Ia membaca salah satu tulisan Amel yang terpajang di mading sekolah:

"Aku ingin pasirku kembali bersinar. Aku ingin berjalan tanpa truk besar. Aku ingin mendengar debur ombak, bukan dentuman mesin. Karena bumi ini bukan milik segelintir orang, tapi milik kita semua."

Beberapa hari kemudian, warga mulai mengajukan protes ke pemerintah daerah. Mereka menyertakan dokumentasi dari kelompok Aray dan petisi dari warga desa. Tekanan dari masyarakat dan pemberitaan media membuat pemerintah bertindak. PT. Murka Mutiara, bersama tambang liar lainnya, ditutup untuk investigasi.

Hari itu, pantai mulai kembali tenang. Tidak ada lagi suara mesin. Hanya debur ombak dan angin yang menari.




Seminggu setelahnya, Aray dan teman-temannya berdiri di tepi pantai, menatap pasir emas yang mulai kembali tampak.

“Pasir emasku bersinar indah kembali,” bisik Aray.

“Dan bumi... kembali asyik,” lanjut Melli sambil menggenggam tangan Amel dan Reyza.

Di belakang mereka, warga bersama anak-anak sekolah mulai menanam pohon-pohon baru di sepanjang pesisir. Gerakan kecil mereka telah menyulut perubahan besar.

Dan petualangan ini, baru permulaan dari cinta mereka kepada bumi.

Lena kelas 5A _





Share this post :

Posting Komentar

YANG SUDAH hadir

Arsip Blog

 
Support : Copyright © 2015. SDN DITOTRUNAN 01 - All Rights Reserved
Nara Hubung by 0877 7447 1651
Proudly powered by Blogger