Sejak ditemukannya pasir emas, banyak
perusahaan tambang masuk, baik legal maupun ilegal. Jalan-jalan utama seperti
Lumajang–Tempeh–Pasirian hancur karena dilewati truk-truk besar yang mengangkut
pasir melebihi batas. Debu beterbangan, suara mesin menggema siang malam. Bumi
yang dulu asyik, kini nyaris tak dikenali.
Libur semester kali ini, Aray, siswa
kelas 5 SD yang cerdas dan pandai berorasi, mendapat tugas kelompok dari sekolah:
mengamati dan membuat laporan tentang kondisi lingkungan sekitar. Bersama Melli
si cerdas dan suka membantu, Reyza si ahli desain tapi pelupa, dan Amel si
pendiam namun jago menulis, mereka membentuk tim yang solid.
“Kita ambil topik pantai pasir emas di
Selok Awar-Awar. Aku yakin, ada banyak yang bisa kita pelajari di sana,” kata
Aray penuh semangat.
“Kita bisa tinggal di rumah Paman aku,
Pak Budiman,” sambung Reyza sambil menunjuk peta desa di tablet. “Dekat sekali
dengan lokasi tambang.”
Petualangan pun dimulai. Begitu tiba di
desa, keempat sahabat langsung terkesima. Bukan karena indahnya pantai, tetapi
karena kerusakannya. Air laut berubah cokelat, pohon-pohon pesisir roboh, dan
suara bising mesin tak pernah berhenti.
“Ini sangat menyedihkan,” ucap Amel
lirih. Ia segera mencatat kondisi lingkungan, sambil sesekali memotret
diam-diam.
Mereka dibantu Pak Budiman, seorang
warga yang sangat peduli lingkungan. “Dulu tempat ini surga, Nak. Tapi lihat
sekarang... semua demi tambang,” katanya dengan nada pilu.
Kelompok Aray mulai melakukan pengamatan
serius. Mereka mewawancarai warga, mengambil dokumentasi, bahkan mencoba
mendekat ke area tambang milik PT. Murka Mutiara—perusahaan yang paling merusak
kawasan itu. Namun, saat sedang mengambil gambar dari kejauhan, seorang mandor
berteriak marah.
“Pergi! Ini bukan tempat main
anak-anak!” bentaknya sambil menggenggam linggis.
Ketakutan, mereka mundur. Tapi tanpa
diketahui yang lain, Amel mencoba masuk dari sisi belakang untuk mengambil foto
bukti aktivitas tambang liar.
Saat sore tiba, mereka baru sadar Amel
tidak ada. “AMEL HILANG!” teriak Aray panik.
Berkat bantuan Pak Budiman, serta RT dan
RW setempat, Amel akhirnya ditemukan malam itu di ruang kosong belakang
bangunan tambang. Meski gemetar, ia masih menggenggam kameranya.
“Foto-fotonya... berhasil. Kita nggak
boleh mundur!” bisik Amel sambil tersenyum tipis.
Peristiwa itu membuat semangat mereka
membara. Mereka membagi tugas: Amel menulis laporan dan narasi kampanye, Melli
menyusun strategi komunikasi ke warga, Aray membuat naskah orasi, dan Reyza
mendesain poster-poster digital melalui Canva dan juga manual dengan cat
poster.
Mereka mengajukan izin kepada RT, RW,
hingga Kepala Desa untuk mengadakan kampanye bertajuk “Stop Penambangan Liar
– Selamatkan Pasir Emas Kita!”. Poster hasil kreasi mereka dipasang di
balai desa, pos ronda, hingga warung-warung. Warga mulai memperhatikan.
“Bumi itu asyik kalau kita jaga, bukan
rusak karena tamak!” seru Aray dalam salah satu orasinya di depan balai desa.
Teman-teman satu kelas pun turut
membantu. Pak Guru memberikan ruang kelas untuk tempat produksi poster, dan
sekolah menyediakan dana kecil untuk keperluan mencetak dan membeli alat tulis.
Dukungan terus berdatangan... sampai Bombom muncul.
Bombom, teman sekelas yang usil dan
pemarah, merasa tersaingi. Ia tak suka melihat kelompok Aray jadi pusat
perhatian.
“Ngapain repot-repot mikirin pasir?
Lebih baik ikut ayahku kerja di tambang, dapat uang!” katanya sombong. Ayah
Bombom memang salah satu mandor tambang.
Dengan sikap agresifnya, Bombom
mempengaruhi beberapa teman sekelas. “Kalau kalian ikut Aray, kalian musuhku!”
ancamnya.
Kelas pun terbelah dua. Tapi Aray,
dengan jiwa kepemimpinannya, tak gentar.
“Kita tak sedang cari musuh, kita sedang
selamatkan rumah kita. Kalau bumi rusak, kita semua yang rugi,” ujar Aray saat
berdiskusi di kelas.
Pak Guru akhirnya turun tangan. Ia
mengajak semua siswa berdiskusi terbuka. “Kalian tahu, pasir emas itu bukan
sekadar uang. Ia bagian dari alam. Kalau kita biarkan terus rusak, kalian nanti
hanya akan mewarisi reruntuhan.”
Diskusi itu membuka mata banyak murid.
Perlahan, teman-teman yang terpengaruh Bombom mulai sadar dan kembali membantu.
Bahkan Bombom, yang semula marah, mulai diam. Ia membaca salah satu tulisan
Amel yang terpajang di mading sekolah:
"Aku ingin pasirku kembali
bersinar. Aku ingin berjalan tanpa truk besar. Aku ingin mendengar debur ombak,
bukan dentuman mesin. Karena bumi ini bukan milik segelintir orang, tapi milik
kita semua."
Beberapa hari kemudian, warga mulai
mengajukan protes ke pemerintah daerah. Mereka menyertakan dokumentasi dari
kelompok Aray dan petisi dari warga desa. Tekanan dari masyarakat dan
pemberitaan media membuat pemerintah bertindak. PT. Murka Mutiara, bersama
tambang liar lainnya, ditutup untuk investigasi.
Hari itu, pantai mulai kembali tenang.
Tidak ada lagi suara mesin. Hanya debur ombak dan angin yang menari.
Seminggu setelahnya, Aray dan
teman-temannya berdiri di tepi pantai, menatap pasir emas yang mulai kembali
tampak.
“Pasir emasku bersinar indah kembali,”
bisik Aray.
“Dan bumi... kembali asyik,” lanjut
Melli sambil menggenggam tangan Amel dan Reyza.
Di belakang mereka, warga bersama
anak-anak sekolah mulai menanam pohon-pohon baru di sepanjang pesisir. Gerakan
kecil mereka telah menyulut perubahan besar.
Dan petualangan ini, baru permulaan dari cinta mereka kepada bumi.
![]() |
Lena kelas 5A _ |
Posting Komentar